top of page

Desa dan Covid-19 : Ujian bagi Solidaritas

  • Gambar penulis: Ademos Indonesia
    Ademos Indonesia
  • 15 Apr 2020
  • 3 menit membaca

Ilustrasi : tirto.id

Oleh : Tim Ademos

Ademos Indonesia – Tidak hanya masyarakat kota yang mendepat tekanan ketika Covid-19 mewabah, masyarakat desa juga diuji tatanannya. Dalam berbagai kajian, telah disebutkan bahwa pola kehidupan masyarakat desa cenderung bersifat kolektif. Seperti pada temuan Adi Mandala Putra dan kolega (2018) terkait budaya tolong menolong masyarakat pedesaan di Indonesia, setidaknya setiap daerah memiliki term yang berbeda untuk menyebut kegiatan gotong royong. Misal di Jawa, masyarakat mengenal istilah sambatan (Sismudjito, 2016); masyarakat Lampung familiar dengan istilah Sakai Sambayang (Oktariana, 2016); dan masyarakat Sumatera Utara yang akrab dengan istilah Margugu. Pada dasarnya, karakteristik saling tolong menolong inilah yang berperan penting dalam keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat desa.

Dalam situasi pandemi, kita semua mengetahui bahwa upayapencegahan virus yang terjadi saat ini cukup berbenturan dengan nilai-nilai masyarakatdesa, seperti pembatasan aktivitas yang dilakukan secara massal, maupunlarangan mudik untuk berkumpul bersama keluarga. Lantas, bagaimana seharusnya masyarakatdesa menghadapi sejumlah imbauan Pusat?

Direktur Manajemen PenanggulanaganBencana dan Kebakaran Kemendagri Syafrizal melului Okezon.com (25/03) memintaagar masyarakat disiplin mengikuti kebijakan Pemerintah terkait social distancing (yang kemudian olehWHO dimutakhirkan menjadi physicaldistancing atau pembatasan jarak secara fisik). Menurutnya, social distancing harus benar-benardilakulan oleh masyarakat agar memutus rantai penyebaran virus corona ataucovid-19. Imbauan ini juga diharapkan dapat dipatuhi oleh seluruh lapisanmasyarakat tanpa terkecuali, termasuk masyarakat desa tentu saja. Sebab jikaaturan hanya ketat di perkotaan maka sangat memungkinkan terjadi perpindahanvirus dari kota ke desa. Pernyataan ini setidaknya menghadirkan beberapaimplikasi bagi masyarakat desa: pertama, mereka juga harus melakukanpembatasan kontak fisik dengan tetangga dan orang sekitar; kedua, masyarakatpedesaan harus bersiap dengan kondisi desa yang sepi karena tidak adaorang-orang yang mudik lebaran; ketiga, masyarakat desa harus siapdengan konsekuensi adanya orang-orang dari kota yang tetap harus pulang karenaberbagai kendala.

Pada kasus pembatasan kontak fisik, tentu sulit bagimasyarakat desa yang memiliki budaya gotong royong. Dr. Drajat, salah seorangSosiolog UNS juga menegaskan bahwa masyarakat Solo, misalnya, memiliki budaya pekewuh atau tidak enakan. Tidak enakjika tidak datang di hajatan tetangga, atau melewatkan kegiatan ibadah bersamadan lain sebagainya (Humas UNS, 2020). Sedangkan untuk imbauan agar tidak mudikbaik dari Pusat maupun anjuran Ikatan Dokter Indonesia (IDI), tidak hanyamenimbulkan perasaan bersedih bagi mereka yang gagal pulang; namun jugaorang-orang desa yang biasanya sesekali ramai di hari raya terpaksa terancamsepi. Bagaimana pun, dalam konteks saat ini, anjuran ini mungkin memang yangpaling baik untuk dilakukan. Meski demikian, kita ketahui bersama bahwa imbauanagar tidak mudik tetap tidak bisa menahan orang-orang. Hal tersebut disebabkanoleh tidak adanya kepastian bagi mereka yang tinggal di rantau untuk dapatbertahan hidup sedangkan beragam sumber penghasilan khususnya bagi pekerjasektor informal nyaris hilang. Hal ini dibenarkan oleh Presiden Joko Widodomelalui video conference dari IstanaKepresidenan, Senin (30/03).

Tidak berhenti disana, narasi mudik sebagai hal terlarang di saat pandemi membuat warga di desamemiliki stigma bagi para pemudik. Seperti pembawa virus dan lain sebagainya.Masyarakat desa yang terbiasa hidup saling menerima dan senang dengankedatangan tamu, menjadi cukup waspada dengan tetangga yang baru pulang dariluar kota. Hal ini salah satunya terjadi di Desa Sumbermulyo Kecamatan Bambanglipuro Bantul, ketika salahseorang warga yang mengontrak di sana baru saja pulang dari Bandung. Satukeluarga ‘ditolak’ kembali ke kontrakan karena masyarakat merasa was-was. Disatu sisi, hal tersebut baik untuk memutus kemungkinan penyebaran virus. Namun disisi yang lain, ada aspek kemanusiaan yang dipertaruhkan. Beruntung, PemDessetempat telah siap siaga dengan menyediakan lokasi karantina dan mencukupikebutuhan keluarga tersebut selama masa isolasi (SuaraJogja.id, Kamis (02/04)).

Desa menjadi bagian yang juga patut mendapatperhatian dalam kerangka Covid-19, bukan hanya dalam aspek kesehatan danekonomi, namun juga aspek sosial. Jika imbauan dari Pemerintah tidak diikutidengan distribusi informasi maupun kebijakan yang tepat, tatanan masyarakatdesa sangat rentan goyah. Solidaritas di masa pandemi perlu dinarasikan ulang,seperti bersolidaritas untuk tetap di rumah, dan kooperatif dengan seluruhmekanisme yang telah ditetapkan. Apakah di waktu yang akan datang, pandanganmasyarakat desa akan berubah tentang pendatang, dan kerja kolektif yangmenimbulkan keramaian?

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Komentar


Ademos

Kantor Pusat :

Jl. Raya Purwosari Jl. Ngambon, RT.012/RW.03, Kuluhan, Dolokgede, Kec. Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur 62166

0811-3394-567

Bareng

Ayo Sinau

© 2025 Ademos Indonesia. All right reserved.

  • Instagram
  • Facebook
  • Twitter
  • YouTube
  • TikTok
bottom of page