Mungkinkah Covid-19 Mengubah Pandangan Kita terhadap Ketahanan Pangan?
- Ademos Indonesia
- 12 Apr 2020
- 3 menit membaca
Ademos Indonesia – Beberapa kondisi seringkali menyebabkan harga kebutuhan pangan masyarakat mengalami lonjakan, seperti menjelang hari raya, krisis, ataupun keadaan lain. Seperti saat ini, ketika covid-19 menjadi salah satu momok bagi masyarakat, komoditas pertanian jenis empon-empon atau tanaman rimpang menjadi sangat mahal. Suara.com, Jumat (06/30) misalnya, melakukan penelusuran di Pasar Keputran, Surabaya. Dari proses tersebut, ditemukan bahwa harga empon-empon naik dua kali lipat dibanding harga biasa yang semula 40 ribu rupiah menjadi 80 ribu rupiah. Selain pada empon-empon, harga juga naik untuk jamu yang bahan bakunya memang bersumber dari tanaman rimpang seperti jahe, kunyit, kencur, dan lain sebagainya (Kompas.com, (06/03)). Lonjakan ini juga terjadi di sejumlah daerah lain menyusul temuan bahwa empon-empon dapat dijadikan sebagai salah satu penangkal virus corona karena sifatnya yang menjaga imun tubuh.
Jika pasar meresponsdengan menaikkan harga, masyarakat selaku konsumen juga mempunyai caranyasendiri. Melansir Beritajatim.com, (06/03) beberapa sekolah di Surabayamemanfaatkan lahan sekolah untuk menanam tanaman rimpang. Selain itu, merekajuga mengolahnya menjadi minuman tradisional. Di Probolinggo, Jawa Timur,masyarakat secara swadaya melalui Kelompok Dasawisma Tulip berinisiatif menanamempon-empon sebagai tanaman obat keluarga (TOGA) sekaligus meningkatkankesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dengan obat-obatan tradisional(Jatimnet.com, (04/04)). Sedangkan di Situbondo, Babinsa membagikan bibitempon-empon agar ditanam oleh masyarakat di kebun yang tidak terpakai disekitar rumah (KompasTV, Kamis, (02/04)). Setelah kesadaran menanam empon-empondi rumah masing-masing mulai tumbuh, akankah masyarakat mengubah pandangan merekatentang ketahanan pangan?
Merujuk padaUndang-Undang Pangan terbaru yang baru yaitu UU No. 18 Tahun 2012 (Setneg,2012) tentang Pangan, pengertian pangan lebih diperluas terutama ruang lingkup jenispangannya. Dalam UU Pangan tersebut, pangan didefinisikan segala sesuatu yangberasal dari sumber hayati, produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolahdiperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasukbahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakandalam proses penyimpanan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman(Prabowo, 2014). Berdasarkan definisi ini, maka tanaman rimpang atauempon-empon menjadi salah satu bagian dari pangan meskipun tidak termasuk dalampangan pokok. Sebab dalam UU Pangan, pangan pokok didefinisikan sebagai panganyang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensisumber daya dan kearifan lokal. Namun demikian, perspektif yang menjelaskanpergeseran preferensi masyarakat atas pangan pokok juga menarik digunakan untukmelihat konteks empon-empon saat ini.
Sebagaimana dalamkajian Dwi Wahyuniarti Prabowo (2014), dijelaskan bahwa komoditi pangan pokokdiduga mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh dinamika sosial-ekonomimasyarakat. Kondisi sosial-ekonomi tersebut di antaranya adalah peningkatantaraf hidup dan pendapatan serta berkembangnya populasi penduduk kelas menengah.Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi keputusan pilihan pangan saat iniadalah ketersediaan komoditi yang dikonsumsi dan keterjangkauannya. Peningkatanpermintaan pangan karena pertumbuhan populasi, peningkatan konversi produkpangan menjadi bahan baku energi, dan perubahan stok karena faktor cuacamerupakan masalah dalam ketersediaan pangan saat ini (Spiertz and Ewert, 2009).Perubahan persepsi konsumen terhadap inovasi juga mempengaruhi konsumsimasyarakat terhadap pangan (Cornescu and Adam, 2013). Berdasarkan beberapapaparan di atas, kondisi saat ini juga potensial mengubah preferensi masyarakatatas kebutuhan konsumsi yang kemudian dipandang penting untuk selalu ada didapur; empon-empon.
Hal tersebut salahsatunya berkaitan erat dengan ketahanan pangan. Sebagaimana Bank Dunia (1986)dan Maxwell dan Frankenberger (1992) mendefinisikannya sebagai “akses semuaorang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat”. Sedangkan FAO(1997) menyatakan bahwa ketahana pangan merupakan situasi dimana semua rumahtangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagiseluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalamikehilangan kedua akses tersebut. Sehingga proses mendekatkan akses terhadaptanaman rimpang kepada entitas bernama keluarga maupun unit terkecilnya yakniindividu, menjadi salah satu capaian dari ketahanan pangan itu sendiri.
Bukan hal yang tidakmungkin jika Covid-19 terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama pada akhirnyamengubah pola pikir masyarakat akan ketahanan pangan, dengan menjadikanlahan-lahan kecil di rumah sebagai tempat menanam komoditas yang menunjangkebutuhan di tengah wabah. Bahkan tidak menutup kemungkinan masyarakat mulaimenanam sayur dan buah sendiri di waktuyang akan datang.


Komentar